Judul : Ilmu Gizi Dasar
Penulis :
Yuliati Widiastuti, S.Gz., RD., MGz., AIFO
Asysyifa Riana, S.Gz., MT., AIFO
Galuh Chandra Irawan, SKM., MGizi., AIFO
Iriyanti Harun, SKM., MGizi
ISBN : Sedang dalam pengajuan
Sinopsis :
Ilmu gizi petama kali berkembang sejak zaman purba, akan tetapi terbatas pada makanan untuk mempertahankan kehidupan dan menyembuhkan penyakit. Pada zaman yunani, sekitar 400 tahun sebelum masehi, Hipocrates mengemukakan bahwa makanan adalah sesuatu yang dibutuhkan manusia.
Antoine Lavioser (1743-1794) mempelajari tentang proses pernapasan, oksidasi, dan kalorimetri. Memasuki abad 19, seorang ahli kimia Prancis, Megendie, telah dapat membedakan zat gizi dalam bahan makanan, yaitu protein, lemak, dan karbohidrat. Kemudian, awal abad 20 penelitian Lavoiser berkembang menjadi penelitian tentang sifat bahan makanan pokok dan pertukaran energi. Pada tahun 1926, Marry Swartz Rose dikukuhkan sebagai Profesor ilmu gizi pertama. Sejak saat itu ilmu gizi diakui sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan ilmu gizi di Indonesia berlangsung seiring dengan Belanda mendirikan Laboratorium Kesehatan pada tahun 1888 di Jakarta. Tujuannya yaitu menanggulangi penyakit beri-beri di Indonesia dan Asia.
Sejak 1919 hingga 1938, Jansen dan Donath melakukan penelitian tentang Gondok di Wonosobo, kemudian didirikan Lembaga Eijkman. Kegiatan lembaga tersebut berupa survei gizi di tahun 1927-1942 bertujuan mengamati pola makan, keadaan gizi, pertanian, dan perekonomian. Lembaga ini juga berhasil melakukan analisis zat gizi bahan makanan yang sekarang dikenal sebagai Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Pada tahun 1934 didirikan Lembaga Makanan Rakyat yang diketuai oleh Prof. Poerwo Soedarmo atau dikenal sebagai Bapak Gizi Indonesia. Bapak Poerwo Soedarmo juga berhasil memperkenalkan promosi gizi yang baik dengan istilah “Empat Sehat Lima Sempurna”.
Dari sejarah perkembangan Ilmu Gizi makin banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara apa yang dimakan dengan kesehatan dan penyakit. Suatu peribahasa kuno yang mengatakan bahwa “Kamu adalah apa yang kamu makan” sering dikutip tetapi tidak direnungkan lebih dalam apa maksud peribahasa tersebut. Makanan meskipun enak dan mahal tidak selalu menjadikan tubuh selalu sehat dan produktif, bahkan sebaliknya menimbulkan penyakit misalnya apabila sering makan berlemak dan manis-manis yang menghasilkan energi tinggi tetapi tidak diimbangi dengan kegiatan fisik yang memadahi, mendorong orang mudah menjadi gemuk. Apabila kegemukan ini berlanjut dapat berakibat pada berbagai penyakit degenerative seperti diabetes melitus, jantung, hipertensi, dan sebagainya. Sebaliknya makanan sederhana dan murah bukan berarti tidak bermutu.